Pupus
PUPUS
Oleh: Ahmad Wahyudi*
Berikut ini merupakan sebuah peristiwa yang berlangsung di sebuah desa yang jarang sekali orang mengetahuinya. Namun desa tersebut merupakan desa yang subur tanahnya, dan ramah masyarakatnya. Suatu ketika ada sepasang kekasih yang sedang melangsungkan pernikahan. Pernikahan tersebut dilangsungkan atas dasar kesepakatan dan cinta dari diri mereka, bukan karena harta, pemaksaan, ataupun faktor yang lain. Dalam penilaiaan masyarakat keduanya merupakan orang yang taat dalam beragama, sang calon istri merupakan wanita yang solihah, begitu pula calon suami juga merupakan seorang lelaki yang sholeh.
Setelah pernikahan berlangsung, keduanya hidup rukun layaknya keluarga pada umumnya. Tidak lama kemudian mereka berpindah ke kota, dengan harapan keluarga mereka bisa hidup lebih baik. Keadaan di kota ternyata berbeda dengan desa yang selama ini mereka tempati. setiap harinya keadaan jalanan tidak pernah sepi dengan kendaraan, pasar-pasar ramai dengan aktifitas para penjual dan pembeli. Keadaan kota yang serba berbeda dengan desa, menjadikan mereka harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Namun tidak menjadikan mereka berputus asa dan kembali ke desa.
Sebulan setelah mereka hidup di kota, ketaatan mereka dalam menjalankan ibadah tidak berkurang sebagaimana mereka hidup di desa. Namun dua bulan berikutnya, sang istri mulai berkurang dalam menjalankan syariat islam, lantaran lingkungan yang mempengaruhinya. Dalam kesehariannya sang istri bergaul dengan tetangga yang mengabaikan syariat Islam, dari segi pakaian, bicara dan tingkah laku mereka. Tidak lama kemudian sang istri mulai mengikuti kebiasaan masyarakat sekitar, mulai dari melepas kerudung bahkan sampai berani membantah suaminya.
Sebagai kepala keluarga, sang suami berusaha untuk menyadarkan istrinya bahwa perilaku yang ia lakukan adalah perilaku yang tidak dibenarkan oleh agama, tidak selayaknya perempuan berpakaian yang membuka auratnya. Namun yang terjadi, sang istri tidak mendengarkan nasehatnya dan tidak menyesali perbuatannya. Bahkan ia berani membantah suaminya, ia juga mengatakan bahwa pakaian adalah hak pribadi, kenapa harus mengatur urusan pribadinya. Pada akhirnya sang suami hanya bisa bersabar sembari memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Setelah beberapa minggu berlangsung, ternyata keadaan tersebut tidak kunjung membaik, hari-harinya hanya mereka lewatkan dengan perselisihan, saling cekcok, bahkan tidak jarang sang istri mengeluarkan kata-kata kotor terhadap suaminya. Dan masih banyak lagi permasalahan yang menyebabkan perselisihan di antara mereka. Setelah 2 tahun kemudian, sang suami tidak mampu lagi menghadapi perilaku sang istri, pada ahirnya sang suami memutuskan untuk cerai.
KHI (BAB XVI: PUTUSNYA PERKAWINAN)
PASAL 116
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
*Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
0 Komentar