Kepesantrenan: Kiat Menjadi Santri Sukses dan Teori Membangun Pesantren

Dipublikasikan oleh putm pada


Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta mengadakan pengajian pertamanya di bulan Suci Ramadan, yaitu Diaspora Alumni. Forum pengajian ini diisi oleh beberapa alumni sebagai narasumbernya. Forum ini diadakan selama Ramadan, lebih tepatnya setiap hari Ahad. Pengajian perdana diisi oleh Sujino, alumni PUTM angkatan ke-6 tahun 1999 yang berasal dari daerah Metro Lampung (18/4).

Dahwan Muchrodji selaku mudir PUTM dalam sambutannya menuturkan bahwa pengajian di bulan Ramadan ini adalah pengajian yang pertama dilakukan sebagai pengganti dari kegiatan Mubaligh Hijrah (MH) para thalabah PUTM. Beliau juga menyebutkan bahwa tema pengajian yang diusung sangat strategis karena membahas tentang kepesantrenan yang dalam Undang-undang (UU) nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren sudah diakui sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.

Selain itu, Dahwan juga menyebutkan peranan alumni PUTM yang dibutuhkan di masyarakat, 98% alumni ditempatkan di lembaga pendidikan, seperti pesantren, sedangkan 2% lagi ditempatkan di lembaga-lembaga amal usaha yang ada di PDM, dsb. Kemudian, dalam laporan LP2M (lembaga pengembangan Pesantren Muhammadiyah) bahwa jumlah pesantren Muhammadiyah sudah hampir mencapai angka 400, tetapi dari sekian banyak itu masih terdapat faktor kendala yang di antaranya adalah para ustaz (tenaga pengajar). Ini terbukti dengan banyaknya permintaan kepada PUTM agar dikirim para alumninya ke pesantren-pesantren tersebut, karena kekurangan jumlah alumni yang dihasilkan, PUTM tidak bisa memenuhi seluruh permintaan tersebut.

Dalam pengajian Diaspora Alumni, Sujino menyampaikan kepada para thalabah dan orang tua/wali thalabah mengenai kiat menjadi santri sukses dan ditutup dengan teori membangun pesantren. Sujino menyampaikan lima kiat untuk menjadi santri yang sukses; bersemangat tinggi, paham skala prioritas, sabar dan syukur, senantiasa bermodal positifisme, serta kenali dan kembangkan potensi.

Pertama, bersemangat tinggi. Santri yang bersemangat tinggi adalah santri yang memiliki target, tekad, keyakinan prima, konsentrasi/fokus, serta tangguh dan tidak mudah menyerah. Kedua, paham skala prioritas. Waktu adalah asset yang sangat berharga dan santri tidak bisa menjadi apa yang diinginkan atau meraih segalanya, kecuali dengan menentukan skala prioritas, yaitu menginventarisir hal-hal yang harus dilakukan atau dikerjakan terlebih dahulu.

Ketiga, sabar dan syukur. Sabar yang dimaksud adalah sabar dari fitnah syahwat—berhubungan dengan lawan jenis—dan syubhat, sabar dari kekurangan materi dan dari hal yang kurang menyenangkan. Sedangkan syukur adalah syukur terhadap karunia yang Allah berikan (berupa kesempatan belajar), syukur masih dipercaya oleh orang tua dan persyarikatan, serta syukur masih ada—orang-orang sekitar—yang memperhatikan kita.

Keempat, bermodal positivisme. Positivisme yang dimaksud adalah berpikir positif, bermental positif, berhati positif, bertindak positif, berbicara positif, dan berkeyakinan positif. Terkahir kelima, kenali dan kembangkan potensi. Santri sukses senantiasa jangan sesali kelemahan yang dimiliki, justeru harus menjadi motivasi untuk lebih bersemangat lagi, lalu tutupi kelemahan yang dimiliki dengan potensi yang dimiliki, serta kembangkan potensi diri dengan menggunakan manajemen strategi.

Selanjutnya, teori membangun pondok pesantren Muhammadiyah. Pasca beliau berhasil membangun dan mengembangkan pondok pesantren di Metro Lampung, beliau membuat beberapa teori yang digunakan. Pertama, gunakan analisis SWOT—Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan), and Threats (ancaman/bahaya)—dalam merancang, membangun, dan mengembangkan pesantren. Kedua, memiliki pasangan hidup yang selaras, tentunya yang memiliki visi dan semangat yang sama, serta siap untuk memberikan dorongan. Ketiga, perkuat jiwa ikhlas, mujahadah, ukhuwah, merdeka, istiqamah, dan sabar dalam membangun dan mengembangkan pondok. Keempat, bermental petarung yang siap berdarah-darah dan banyak mengeluarkan air mata dalam perjuangan membangun dan mengembangkan pondok. Kelima, pahami ruh manajemen, yaitu manajemen pondok pesantren. Keenam, jadilah muharrik (penggerak) persyarikatan, bukan muharrak (orang yang digerakkan). Ketujuh, siap jadi qudwah (teladan) dalam segala hal dan siap juga memperbanyak relasi (kawan).

Dalam pengajian tersebut, Sujiono juga menyampaikan lima unsur pondok pesantren yang harus dimiliki atau dipenuhi, yaitu ustaz, santri, kurikulum, masjid, dan asrama. Sebuah pondok pesantren harus memiliki ustaz atau tenaga pengajar dan juga santri-santri yang siap belajar. Lalu sebuah pondok juga harus jelas kurikulum pendidikannya, serta pondok harus memiliki masjid sebagai sarana memberikan pendidikan dan juga ibadah. Selain itu, asrama juga menjadi unsur penting sebuah pondok sebagai tempat para santri menetap atau bersitirahat. Demikianlah kelima unsur pondok pesantren. Ketika lima unsur ini dipenuhi, maka sebuah pondok pasti dapat dibangun dan dikembangkan.

*Tulisan ini bersumber dari pengajian Diaspora Alumni PUTM yang disampaikan oleh Ustaz Sujiono, M.Pd, alumni PUTM ke-6 angkatan tahun 1999.

Ahmad Farhan Juliawansyah
(Thalabah PUTM Semester 6)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *