Gugur Daun Musim Semi
Gugur Daun Musim Semi
Oleh: Ginanjar Nur W*
Izinkan diri ini untuk melupa, namun enggan untuk mendua. Jika memang merindu tak perlu bertemu, cukup bisikkan bait-bait kata do’a di dalam dinginnya malam yang syahdu. Akankah esok akan bertemu, Aku enggan berjanji namun berusaha untuk mengekalkan mahligai ikatan janji suci. Semoga hatimu masih ada ruang untuk diri kembali, untuk menambatkan rasa rindu sedalam-dalamnya, hingga semesta cemburu membisu. Bersamamu mengarungi lautan lepas dengan menggunakan bahtera berlayar taqwa. Jika memang diperkenankan izinkanlah Aku menjadi nahkodanya.
Gadis itu tersenyum malu dengan muka memerah padam ketika membaca sebuah surat yang diselipkan dalam mushaf al-Qur’an yang biasa dibacanya. Tulisan tangannya tertata dengan rapi dengan tinta biru perlambang rindu yang terus berkecamuk dalam kalbu. Ini adalah surat yang ke sekian kalinya yang dibaca dan diterima oleh gadis itu. Dalam surat itu selalu diakhiri dengan inisial yang sama, yaitu FM.
Senja memadam di barat kaki langit. Menjemput petang, menyapa rembulan didalam peraduan angkasa. Adalah Hafsah, seorang gadis berusia dua puluh satu tahun dengan paras cantik dan perangai akhlaknya. Akhir-akhir ini dia sering mendapatkan surat misterius dengan inisial pengirim yang sama. Surat itu selalu diselipkan dalam lembaran-lembaran mushaf kitab suci.
FM, inisial ini selalu memenuhi seluruh ruang pikiran Hafsah. Dia benar-benar bertemu dengan pemilik surat itu, namun tak nampak jelas guratan paras wajahnya. Kakinya melangkah pelan namun pasti mendekati Hafsah. Hanya senyuman sapa yang sekilas terlihat seakan dia ingin menyapa Hafsah. Namun ketika pemilik surat itu berjalan mendekat, sedikit demi sedikit dia mendekat, semakin dekat, dan semakin dekat, Hafsah terbangun.
“Ah, hanya mimpi!” gumam gadis itu dalam hati dengan nafas yang masih tersengal.
Kemudian beranjak membasuh muka, dan mengadukan segala kesah dalam bentang sajadah di tengah orang-orang masih nikmat meringkuk didalam selimutnya. Dia menengadahkan tangan memohon agar Sang Maha Kuasa mengabulkan bait-bait do’a yang dia panjatkan. Dan memohon untuk jawaban atas segela keresahan yang dirasa.
Di bagian bumi yang lain pada waktu jam yang sama. Seorang laki-laki juga tengah melangitkan sajak-sajak doa’a pada Sang Maha Kuasa. Menengadahkan tangan dengan penuh harap dan pasrah. Garis bening yang membasahi pipinya terlihat berkilauan, karena terkena terangnya sinar rembulan kala itu.
Hei, baru kali ini laki-laki itu membentangkan sajadahnya di tengah orang-orang yang lain masih asyik dengan episode mimpinya. Ya, dia masih ingat betul terakhir kalinya dia membentangkan sajadah pada Sang Maha Kuasa di sepertiga malam. Ketika laki-laki itu tengah menjalani Ujian Nasional SMA di daerahnya. Hampir setiap malam dia terbangun dan berdo’a kepada Sang Maha Kuasa, agar cita-citanya menjadi seorang dokter bisa terwujud.
Farhan Mubarok, seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun yang dulu ketika SMA pernah berdo’a kepada Sang Maha Kuasa untuk menjadi dokter. Orang tuanya menamainya dengan nama Farhan Mubarok agar mempunyai sifat periang, dan bertabiat penyanyang serta menjadi pribadi yang rajin bersembahyang.
Namun semua itu berbeda sebaliknya, Farhan yang sekarang berusia dua puluh lima tahun, yang bekerja menjadi seorang dokter. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan segala aktifitas yang melalahkan. Dia masih hidup sendiri dan membeli rumah yang cukup sederhana namun tetap terlihat megah di sebuah perumahan tengah kota.
Hari-harinya sudah habis digunakan untuk mengejar dunia. Terkadang dia selalu menunda-nunda waktu untuk melakukan shalat. Jangankan untuk melaksanakan shalat tahajud di sepertiga malam, shalat subuh pun Farhan sering bangun kesiangan. Semenjak cita-citanya terwujud, rasa resah dan kegundahan selalu hadir dalam sebagian kehidupannya. Pada waktu itulah Farhan pertama kalinya memohon pada Sang Maha Kuasa di sepertiga malam setelah dirinya lulus dari SMA dua belas tahun yang lalu.
Toko buku di depan rumah sakit, merupakan jawaban dari keresahan Farhan selama ini. Semenjak pertemuannya dengan penjaga toko buku waktu itu, dia langsung tertegun melihat seorang penjaga toko buku yang setiap kali menunggu pembeli yang datang, dengan menghabiskan waktunya bersama mushaf al-Qur’an berawarna merah hati di meja kasir.
Ya Tuhan, ternyata gadis itu selalu Farhan temui melakukan shalat duha di dalam masjid rumah sakit ketika dia berangkat kerja. Hijabnya yang terjulur lebar terdapat sebuah pin nama tanda pengenal pegawai toko yang bertuliskan Hafsah Azahra, dibawahnya juga tertulis degan kata kasir. Semenjak kejadian itulah Farhan sering pergi mengunjungi toko buku. Dia pergi bukan untuk membeli salah satu buku yang ditata rapi di rak-rak yang memanjang, melainkan untuk sekedar menyelipkan sebuah surat di dalam mushaf Hafsah.
Ketika para karyawan sedang istirahat untuk shalat dzuhur, Farhan diam-diam di sela-sela istirahatnya bergegas pergi ke toko buku untuk menyelipkan surat di dalam mushaf Hafsah, yang selalu diletakkan di atas meja kasir. Jarak antara rumah sakit tempat Farhan praktek dan toko buku tempat Hafsah bekerja hanya dibatasi oleh jalan raya. Dekat sekali, hanya memakan waktu lima menit perjalanan kaki.
“Perkenankan,” sebuah surat terakhir yang diselipkan Farhan didalam mushaf Hafsah. Sebuah surat ajakan untuk mengarungi samudra luas dengan bahtera yang sama berlayar taqwa. Jika memang diperkenankan Farhan meminta izin untuk menjadi nahkoda dalam bahtera yang sama tersebut.
“Besok aku akan berkunjung, pastikan salah satu dari kedua orang tuamu ada di rumah.” Farhan mengakhiri pesannya dengan tulisan tangan tinta berwarna biru.
“Apakah laki-laki ini akan datang melamar?” Hafsah hanya bisa berkata dalam hati, tatapannya melamun menatap deretan buku-buku yang ditata rapi di atas rak.
Anggapan Hafsah memang benar adanya. Selepas kedua belah pihak keluarga sudah saling bersepakat, pada akhirnya tanggal pernikahaan itu telah ditentukan. Janur kuning sudah tertanam di depan rumah. Tenda biru sudah megah kokoh berdiri. Meja dan kursi sudah berbaris rapi bagaikan pasukan upacara bendera hari senin pagi. Rantang-rantang makanan berjejer rapi di atas meja berselimut taplak berwarna biru tua.
“Saya terima, nikah dan kawinnya Hafsah Azahra binti Jamaludin dengan maskawin seperangkat alat shalat dan uang tunai yang telah disebutkan dibayar tunai” lantang dan bersemangat Farhan mengucapkan ikrar janji itu.
“Bagaimana para saksi?” Bapak penghulu hanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sebuah kepastian jawaban.
“Sah, sah, sah!” gumam para saksi disekeliling mereka.
“Alhamdulillah” serentak semua mengucapkan kalimat tahmid.
Setahun setelah pernikahan Farhan dan Hafsah, kehidupan keluarga mereka masih dalam taraf normal tidak ada permasalahan-permasalahan yang memberatkan. Farhan masih tetap bekerja sebagai dokter, dan Hafsah tetap diizinkan suaminya menjadi kasir toko buku. Sebuah keluarga sederhana yang sangat bahagia di tengah-tengah bumingnya angka perceraian pernikahan usia muda pada waktu itu.
Waktu berjalan semakin cepat, meninggalkan berjuta kenangan yang masih melekat dalam akal dan pikiran. Farhan dipromosikan menjadi pimpinan tinggi rumah sakit, karirnya melonjak sangat drastis. Berarti waktu untuk bersama Hafsah akan berkurang. Ya, waktu bersama Hafsah memang berkurang. Lihatlah Farhan akhir-akhir ini yang jarang pulang ke rumah, sekalipun dia pulang ke rumah itu pun sudah larut malam.
Lembur kerja menyelesaikan administrasi ini dan itu, memimpin rapat ini dan itu, mengisi seminar kesana kemari, pergi ke luar kota mengadakan acara kerja sama dengan pihak rumah sakit lain, dan banyak hal lagi yang menjadikan Farhan semakin sibuk. Pada akhirnya, Hafsah yang dulu selalu bernagkat menjaga toko diantar oleh suaminya, sekarang dia harus bernagkat dan pulang hanya seorang diri.
Rumah tangga mereka berdua mulai terkikis rasa keharmonisannya. Ditambah lagi sebuah kasus yang menimpa Farhan. Namanya tertuduh dalam daftar deretan tersangka kasus korupsi, penggelapan uang pembangunan proyek rumah sakit yang didirikan di tengah kota. Setelah rumah sakit itu berdiri tinggi dan megah, tidak mencapai usai sepuluh tahun berdiri, rumah sakit itu bangkrut karena terbakar. Uang Farhan sudah terkuras habis untuk mengganti ganti rugi dan pesangon para pegawai. Pada kondisi inilah perasaan Farhan mulai terombang-ambing.
Rembulan indah memancarkan sinar, bintang gemintang tumpah ruah memenuhi angkasa. Ditengah romantisnya makan malam kala itu, ada sebuah tema pembahasan yang seangat perlu untuk disampaikan.
“Duhai suamiku” Hafsah menatap mata suaminya dalam-dalam.
“Dahulu engkau adalah laki-laki penenang dalam kecamuk kegelisahan. Dahulu engkau adalah laki-laki pereda dalam amarah dan emosi yang membara. Namun sekarang engkau telah bersifat sebaliknya. Engkau selalu berbuat kasar baik perkataan maupun perbuatan semenjak kasus yang menimpa dirimu, dan engkau juga selalu pulang malam dengan alasan mengurus urusan ini dan itu.” Hafsah hanya mengaduk-aduk secangkir cokelat panas yang disajikan oleh pramusaji.
“Aku ini isteri mu, Mas!” matanya menatap suaminya dengan tajam.
“Sekarang ini engkau sudah jarang memperhatikanku. Engkau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Sedangkang aku. Isterimu sendiri, kau tinggalkan di rumah begitu saja.” Hafsah menghela nafas.
“Ma, maa..” belum sempat mengucap kata maaf, Hafsah memotongnya.
“Aku sudah lelah Mas. Secepatnya juga pulangkan saja aku pada rumah mertuamu!” Hafsah berdiri beranjak dari tempat duduknya, pergi meninggalkan Farhan, dan secangkir cokelat panas yang sudah berubah menjadi dingin.
Tiga hari setelah kejadian makam malam itu, Hafsah menggungat cerai suaminya ke pengadilan agama. Setelah hakim menerima gugatan tersebut, sempurna sudah gugatan cerai yang diajukan oleh Hafsah. Sekarang ke duanya hidup berpisah. Hafsah kembali ke rumah orang tuanya dan masih bekerja sebagai penjaga toko buku. Sedangkan Farhan masih menetap di rumahnya dengan masalah yang belum terselesaikan.
Senja memadam di barat kaki langit, bergaris jinggah indah melukis bumi. Hafsah seakan tidak percaya dengan jalan kehidupannya. Sebuah bahtera rumah tangga yang dulu sangat didambakannya, kini telah hancur menyisakan kenangan yang menyakitkan. Cinta memang bukan segalanya, namun dengan cinta seseorang bisa berbuat apa saja.
Satu bulan berpisah dengan Hafsah. Kasus yang menimpa Farhan satu persatu terselesaikan. Polisi berhasil menyelesaikan tugasnya. Menemukan pelaku-pelaku yang terlibat dalam kasus pembakaran rumah sakit yang didirikan oleh Farhan bersama teman-temannya. Polisi pun juga telah menetapkan seorang dalang dalam kasus tersebut dengan bukti-bukti yang kuat. Selain itu kasus penuduhan korupsi yang menyeret nama Farhan pun terselesaikan. Hakim tidak bisa menetapkan Farhan sebagai tersangka, karena tidak ada bukti-bukti yang kuat didalam kasus ini.
Awan berarak menghias angkasa, angin berhembus sepoi menggerak ujung rambut yang terjuntai. Farhan duduk termenung didepan teras rumah, dia melihat seorang Ibu yang sedang menjemput anaknya pulang dari taman kanak-kanak. Seketika itu juga Farhan teringat dengan mantan isterinya, yang dulu pernah menggugatnya cerai. Ya, dia menrindukan Hafsah. Farhan dulu pernah bermimpi bahwa Hafsah kelak pasti akan menjadi Ibu yang baik untuk anak-anaknya. Namun mimpi itu sudah terjatuh sebelum digapai, karena gugatan cerai yang diajukan oleh Hafsah ke pengadilan agama.
Matahari semakin condong ke arah barat, bersamaan dengan awan pekat yang menggantung di atas langit. Satu persatu tetes air mulai terjatuh membasahi angkasa. Hujan memang mempunyai cerita seru bagi seseorang yang sedang merindu. Begitu pula dengan Hafsah, ditengah rintik nyanyian hujan. Dia membaca surat-surat lama yang pernah Farhan kirim untuk dirinya. Hafsah tersadar, bahwa dia tidak bisa hidup terus menyendiri. Tekatnya sudah bulat untuk mengajak Farhan untuk rujuk kembali. Orang tuanya pun semenjak perceraiannya dengan Farhan selalu menyarankan untuk segera rujuk kembali.
Pada waktu itu juga, ketika hujan semakin deras membasahi bumi. Hafsah menuliskan sebuah surat untuk Farhan. Sebuah surat yang dituliskan dengan tinta berwarna biru.
“Untuk mantan suamiku, aku tak bisa mendebat hatiku. Karena rindu yang dulu pernah kau tabur dalam hatiku, mengajakku untuk merujukmu kembali.” Kalimat pertama yang dituliskan Hafsah dalam kertas putih tak bergaris.
“Apakah dirimu sudah benar-benar melupakanku, semoga saja tidak. Masih ingatkah dirimu, tentang surat-surat yang dulu pernah kau kirimkan kepadaku. Aku masih menyimpannya. Ya, aku benar-benar menyimpan semua surat itu.” Hafsah terdiam, sejenak dia melihat bulir-bulir air yang jatuh ke tanah.
“Aku memang tak bisa merangkai kata, seperti halnya kata yang dulu pernah kau tuliskan untuk diriku. Aku hanya ingin memohom kepadamu. Izikanlah aku untuk kembali memanggilmu dengan nama panggilan suami.” Air mata Hafsah menetes. Dia tak kuasa lagi melanjutkan tulisan suratnya, dalam pikirannya selalu muncul anggapan-anggapan buruk. Dia takut jikalau Farhan enggan untuk diajak rujuk kembali.
Tiga hari kemudian surat yang dikirim Hafsah telah dibaca oleh Farhan. Dia hanya menghela nafas, memandang luasnya langit dibalik jendela kaca rumahnya. Matanya terkadang menyelidik setiap baris kata yang ditulis oleh Hafsah, dan dia tersenyum. Lama sekali dia tersenyum dengan mata yang terpejam, membayang senyum seorang gadis penjaga toko buku kala itu.
Surat dibalas dengan surat. Begitulah yang dilakukan Farhan ketika itu. Seketika itu juga Farhan menuliskan balasan surat untuk Hafsah, masih dengan tinta biru yang sama seperti dulu.
“Untuk seorang gadis penjaga toko buku yang dulu sempat aku kagumi” Farhan menulisnya dengan menggunakan huruf kapital.
“Aku kurang mengerti bagaimana isi hatimu saat menuliskan surat ini. Yang pasti, jikalau engkau menyanyakan tentang rindu. Ya, aku juga sama merasakan rindu itu” lisannya tersenyum kecil saat membaca kembali apa yang dia tulis.
“Namun ada hal kecil yang harus aku sampaikan kepadamu. Bahwa sebuah ikatan pernikahan itu ibarat sebuah pohon. Dia akan selamanya tumbuh dan akan menua pada saat waktunya tiba. Bahkan dia juga akan mati, jika memang Tuhan menghendakinya. Pohon yang terus tumbuh akan menghasilkan buah yang lebat dan ranum. Selain itu, pohon itu juga akan bermanfaat bagi mahluk hidup di sekitarnya.
Ada kalanya pohon itu akan kehausan kekurangan air. mengakibatkan membuat layu setiap daun yang dulunya hijau segar. Maka sebuah pernikahan tak semudah untuk digugurkan, layaknya angin yang dengan mudah menggugurkan daun kering di musim semi. Kemudian jatuh ke tanah dan lenyap.
Namun tak selamanya daun yang jatuh ke tanah melenyap berarti tak berguna, ada saatnya dia akan terurai dan menjadi humus. Menumbuhkan setiap pohon dan tumbuhan yang ada di sekitarnya.” Hanya itu yang dituliskan Farhan untuk membalas surat dari Hafsah. Dia belum memberi jawaban pasti dari ajakan Hafsah untuk rujuk kembali.
Tuhan memang Maha tahu, Dia mengetahui setiap hati orang-orang yang sedang dikepung rindu dengan cinta yang membara. Satu minggu berikutnya Farhan memberi kejutan untuk Hafsah. Dia mengajukan rujuk ke pengadilan agama, dan hakim menerimanya. Akhirnya seorang gadis penjaga toko buku itu kembali menemukan penyempurna pada sebagian agamanya. Tersenyum gembira dengan guratan wajah penuh kebahagiaan.
Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk
*Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
0 Komentar