Sekeping Cinta Pesisir Utara

Sekeping Cinta Pesisir Utara
Oleh Ikhwannushshafa*

Sore itu, di tempat yang sama seperti dua puluh tahun silam. Restoran makanan  China ‘Ko-Ko’, sesuai dengan nama panggilan pemilik restoran ini. Koko adalah kakak kelasku sewaktu SMA. Aku dan suamiku, Bambang, duduk di tempat favorit kami yang telah dipersiapkan oleh Koko sebelumnya untuk kami berdua. Ia tak pernah lupa hari pernikahan kami, karena di restoran inilah kami mengadakan resepsi pernikahan.

Ia mendisain meja makan kami dengan suasana romantis ala anak remaja zaman old. Meja makan yang berbentuk bundar itu dihiasi dengan setangkai mawar merah yang diletakkan dalam sebuah vas ramping berwarna putih. Dibalut cahaya jingga lampu meja nuansa romantis di atas meja tersebut semakin bertambah. Sehingga tak sedikit mata-mata cemburu melihat kemesraan kami bergumam lirih,

So sweet bingit…”

Tak lama kemudian dua porsi kwetiau seafood dan segelas air nyok mude’ (kelapa muda) ukuran jumbo pun datang. Kami menikmati makan malam sambil bernostalgia akan masa-masa remaja saat di SMA. Momen-momen ketika kami pernah saling suka tetapi tak pernah mengukap rasa, sering berjumpa tetapi malu-malu bertegur sapa. Mukaku memerah setiap kali bertemu dengannya dan diriku selalu salah tingkah jika dekat dengannya. Sedangkan Bambang berusah agar tetap stay cool di hadapanku dan tampak jelas dari pancaran matanya rasa suka yang ia sembunyikan dari diriku. Terkadang kami tertawa, tertunduk malu dan tak jarang mataku berkaca-kaca mengingat semua lembaran-lembaran kisah suka duka yang kami telah tuliskan bersama.

Di saat sang mentari siap menghujam horizon, Bambang menggeser kursinya ke sampingku untuk menatap sunset. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Akupun menyandarkan kepalaku ke bahunya, ia pun memeluk dan mengecup ubun-ubunku. Setelah sempurna matahari terbenam ia berbisik,

“Sayang, kita sholat maghrib dulu yuk!”

Ajakan itu sontak membuat diriku segera beranjak dari nyaman pelukannya. Kutatap ia lamat-lamat dengan wajah sedikit memelas agar memberiku kesempatan untuk dapat sedikit lebih lama dipelukannya. Akan tetapi percuma, seperti biasa ia akan memaksaku dengan senyuman lebar dengan kedua alis terangkat ala komedian Mr. Bean.

“Papa! Ih… ngeselin deh, lagi pewe tahu!”

Protesku dengan wajah cemberut namun berusaha keras menahan tawa, karena ekspresi wajahnya terebut mampu membuatku tertawa hingga menitikkan air. Parahnya, ia akan terus memasang ekspresi itu di depanku sampai Aku menuruti kemauannya.

***

Kumandang azan maghrib menggema di kolong langit pesisiran utara pulau Natuna. Debur ombak Laut Cina Selatan yang menghempas bibir pantai dan bebatuan granit raksasa ikut bertakbir mengiri lantunan panggilan shalat. Derik papan pelabuhan semakin berisik karena ramai pengunjung dan peduduk setempat yang berduyun-duyun ke surau terapung ‘Al-Muttaqin’ untuk shalat maghrib berjamaah.

Selesai shalat kami berjalan menuju gazebo di ujung pelabuhan. Debur ombak yang menabrak tiang-tiang pelabuhan, suara mesin kapal nelayan yang baru dinyalakan, dan gemerisik dedaunan nyiur yang tertiup angin menjelma irama syahdu mengiri setiap langkah kami.

Sesampainya di gazebo, Aku dan Bambang duduk menghadap laut sembari menikmati indahnya ribuan gugusan yang bertaburan di atas horizan bumi dan menjulurkan kaki ke lautan demi merasakan dinginnya setiap percikan air asin yang membasahi kaki. Aku kembali menyandarkan kepalaku di atas bahunya. Ia mendekapku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sedang sibuk melonggarkan kalungan syal yang meilingkari lehernya.

Tak lama kemudian terdengar langkah seseorang yang sedang mendekat dari arah belakang kami, Bambang pun menoleh untuk memastikan siapa itu. Ternyata Putri, anak perempuan bungsu Koko yang mengantar dua gelas kopi panas.

“Permisi, ini kopi spesial dari papa”

“Terima kasih Putri, kopinya taruh saja di atas meja ya cantik…” Bambang menggoda anak gadis itu.

“Sama-sama om, selamat menikmati” Dan sekarang wajahnya berubah merah tersipu malu.

“Uh… Papa genit, maafin om ya Putri, kalo udah malam sering kumat” Sambil Kutarik kumisnya.

“Minta maaf sama Putri atau mama cabutin semua kumis papa!” Ancamku.

Paras Putri memang sangat cantik. Wajah blasteran China Bugis itu dihiasi dengan rambut ikal berwarna hitam kecoklatan yang dikepang dua dan bentuk matanya yang tidak terlalu sipit semakin menambah keelokannya. Rupanya yang jelita tersebut membuatnya pantas untuk dinobatkan sebagai putri Koko yang paling cantik di antara kedua kakak perempuannya, yaitu Lusi dan Lili.

“Aduh, ma… maafin om ya can…, eh… Putri, maafin dong… maafin ya, ya, ya… au…”

“Iya om, Aku maafin…”

Putri pun beranjak pergi meninggalkan gazebo sambil tertawa kecil, mungkin karena merasa lucu melihat tingkah kami yang seperti pasangan anak muda.

Kami pun melanjutkan kencan kami yang beberapa kali sempat terputus sambil menyeruput seduhan kopi yang dipadukan dengan racikan rempah-rempah pilihan. Kopi dibuat sesuai dengan resep turun temurun keluarga Koko. Selain nikmat, kopi ini juga memiliki banyak khasiat, seperti menambah stamina, memperlancar metabolisme tubuh dan segudang manfaat lainnya.

Di sela kemesraan kami, tiba-tiba teleponku berdering. Setelah Kubuka ternyata ada pesan gambar masuk dari Firman. Pesan tersebut rupanya hasil USG kandungan istrinya, Julia. ‘Happy Anniversary’ terpampang jelas pada frame atas gambar tersebut. Mereka juga memberi tahu kami berdua bahwa besok akan berkunjung ke Teluk Buton selama seminggu. Aku merasa senang karena kelak Aku akan menjadi seorang nenek. Dan sekarang atmosfer kebahagiaan pada malam ini semakin menyesaki ruang dadaku. Berita dari Firman merupakan hadiah terindah yang selama ini Aku dan Bambang tunggu berpuluh-puluh tahun lamanya.

Malam semakin larut dan angin bertiup semakin kencang. Meskipun tidak berefek bagi kami tetapi para pengunjung restoran mulai sepi, mereka kembali ke penginapan dan bungalo masing-masing. Di restoran hanya tinggal Koko beberapa karyawannya yang sedang sibuk membersihkan restoran. Kami memutuskan untuk kembali bungalo milik Koko yang kami sewa.

“Kami istirahat dulu ya…” Ujar Bambang sambil melambaikan tangannya ke Koko.

“Oke” Koko membalas sambil memberi isyarat jempol dengan tangan kanannya kepada Bambang lalu kembali merapikan kursi-kursi yang masih berserakan.

Sebelum masuk bungalo suamiku menghentikan langkah kakinya. Tangan kirinya meraih tangan kananku. Aku membalikkan tubuh dan menatap sejenak wajahnya. Pandangannya kosong walau lurus menatapku.

“Papa kenapa?” Tanyaku penuh rasa penasaran.

Ia tak langsung menjawab pertanyaan yang Kulontarkan kapadanya, tetapi ia malah memeluk tubuhku erat-erat.

“Papa minta maaf” Terdengar suaranya sayup-sayup di telingaku

Hanya itu. Kami langsung istirahat dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kami berdua setelah itu. Sepatah kata pun tidak. Kejadian malam ini sangat membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Malam yang kami awali dengan begitu mesra dan dipenuhi kebahagiaan, diakhiri dengan sebuah tanda tanya besar yang terus menghantui pikiranku.

***

Setahun terakhir perilaku Bambang memang membuatku keheranan. Ia tak hanya menjadi orang memiliki satu kepribadian tertentu. Ketika ia bersikap sebagai orang dewasa, ketika itu pula ia memiliki kepribadian kebalikan dari sifat itu, yaitu kekanak-kanakan. Awalnya Aku sempat shok, tetapi hal tersebut membuatku merasa kecewa terus larut dalam rasa sedih. Sebaliknya, kejadian ini justru membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung karena tak setiap perempuan mampu bersabar menerima kondisi suaminya terkena kelainan kejiwaan seperti yang menimpa Bambang.

Demi kesembuhan Bambang, Aku membawanya ke Naufal, teman sekelasku saat di SMA. Sekarang ia berprofesi sebagai psikiater di RSJ Tanjung Datuk. Menurutnya Bambang memiliki kondisi kejiwaan bipolar, artinya Bambang memiliki kepribadian ganda.

“Jangan khawatir Nisa, Aku akan merawat Bambang dengan baik. Di sini ia bisa berinteraksi dengan denganku dan para perawat serta beberapa pasien lainnya. Kamu bisa menjenguknya ke sini kapanpun yang kamu mau” Naufal berusaha agar Aku memberikan kepercayaanku padanya.

“Tapi harus berapa lama Bambang berada di sini?” Tanyaku seakan enggan berpisah dengan Bambang.

“Soal itu Aku tidak bisa menentukannya. Hanya kemurahan Tuhan dan semangat Bambang untuk sembuh yang menjadi jawaban dari pertanyaanmu, anggap saja ia sekarang ini ia sedang butuh piknik dari kesibukan bisnis pariwisatanya” Jawabnya ringan namun tetap memberikan kepastian.

“Baiklah, Aku akan selalu menunggu kabar Bambang darimu, bulan depan jika tidak ada hambatan Aku akan menjenguknya” Ujarku meski gundah tak lekang di hati.

“Sesegera mungkin. Aku pasti akan memberi tahumu jika ada perkembangan dari dirinya” Sekali lagi Naufal mencoba meyakinkan diriku agar Aku memberikan seluruh kepercayaanku kepadanya.

Akhirnya Kuputuskan untuk menitipkan Bambang bersama Naufal. Mendengar penjelasan Naufal, di satu sisi Aku merasa sedih karena harus berpisah dengan Bambang. Namun di sisi yang lain, Aku sangat bersyukur kelainan kejiwaan yang dideritanya dapat disembuhkan. Mungkin ia benar bahwa pekerjaan Bambang mengurus pariwisata di Teluk Buton selama ini membuat jiwanya tertekan. Alhasil dalam tempo tujuh bulan ia berhasil sembuh dan sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.

***

Malam berganti pagi. Kilau cahaya mentari tak mampu menyibak tabir kegundahan yang menyelimuti hatiku sedari tadi malam. Setelah sarapan bersama keluarga Koko kami pamit diri karena hari ini Firman dan Julia akan datang berkunjung ke rumah.

Suasana perjalanan pulang pun terasa sangat hening. Bambang diam seribu bahasa sejak kami berpamitan dengan keluarga Koko. Mobil yang ia kendarai kini semakin laju. Aku kebingungan, takut, dan merasa kesal. Semakin jauh jarak yang kami tempuh sejak kami meninggalkan restoran Koko, rasa kecewaku terhadap Bambang semakin bertambah. Aku sudah terbawa emosi, akal sehatku sudah tak mampu mencerna apa yang ada dibalik tingkah Bambang sampi saat ini. Sikap Bambang tidak bisa Kutolerir.

“Baiklah, permintaanmu dua puluh tahun lalu akan Aku penuhi” Bambang tak menjawab. ia tetap diam dan bagiku diamnya sudah cukup menjadi jawaban.

“Dan diammu Aku anggap sebagai iya, puas?” Tukasku.

Kecepatan mobil pun kembali normal. Diam, hanya diam. Ia tetap membungkam mulutnya, bahkan ketika kami berdua sampai di rumah.

***

Pada tahun pertama sejak Bambang mempersuntingku sebagai istrinya, kami belum juga dikaruniai seorang anak. Bambang divonis oleh dokter menderita varikokel yang mengakibatkan kami sulit memperoleh keturunan. Vonis tersebut membuatnya frustasi. Ia pun memintaku agar menggugatnya di pengadilan. Namun, hal itu tidak pernah terjadi.

Firman bukanlah anak kandung kami. Ia adalah anak Erna, kerabat jauh Bambang, yang kami adopsi darinya. Ketika itu kondisi ekonominya sedang tidak baik. Apalagi setelah suaminya meninggal dunia ketika Firman genap berusia empat tahun, membuatnya harus pontang-panting membanting tulang untuk menghidupi kelima anaknya.

Aku dan Bambang pun berinisiatif untuk menjadikan Firman sebagai anak angkat dan sebagai balasannya kami memberikan bantuan modal kepada Erna agar ia bisa membuka usaha. Dan kini usahanya semakin sukses. Dagangan kelontong miliknya sekarang berubah menjadi toko swalayan yang cukup besar dan dari keuntungan usahanya tersebut ia berhasil membiayai pendidikan empat orang anaknya hingga jenjang perguruan tinggi.

***

Pada esok harinya Aku pergi ke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan ceraiku terhadap Bambang. Awalnya Pengadilan Agama sempat menawarkan solusi perdamaian kepada kami berdua namun solusi tersebut Kutolak mentah-mentah dengan berbagai alasan. Melihat kerenggangan hubungan rumah tanggaku yang seperti ini Pengadilan Agama akhirnya mengaminkan gugatan ceraiku.

Kedatangan Firman dan Julia yang tengah hamil muda pada hari itu pun tak mampu merekatkan lagi ikatan pernikahan kami. Prinsipku yang dulu, kini berubah 180 derajat. Sikap dingin Bambang selama seminggu ini menghapus semua kenangan indah yang pernah kami ukir bersama selama dua puluh tahun. Pupus sudah harapan untuk mengekalkan jalinan cinta ini.

Pada minggu kedua persidangan pun dilaksanakan. Keputusan hakim telah dijatuhkan dan Bambang harus mengucapkan talak di hadapanku dan para hakim. Semenjak hari itu kami berdua resmi bercerai. Selesai dari persidangan Bambang bergegas ke bandara internasional Tok Nyong. Ia akan berangkat ke Batam untuk meeting dengan para investor asing yang menawarkan kerja sama dengannya. Ia pun menitipkan kunci mobilnya kepadaku agar Aku bisa mengambil barang-barangku di rumah.

Saat masuk mobil, terlihat sebuah origami hati berwarna merah menyala yang tergeletak di atas jok mobil. Aku pun mengambil origami tersebut, tampak pada seni lipat kertas tersebut pola-pola goresan pena. Lantas Aku pun membukannya. Ternyata itu adalah sepucuk surat dari Bambang.

“Assalamu’alaikum, Nisaku tercinta. Maafkanlah sikap egoisku. Kutahu ini salah, tetapi sakit rasanya jika harus berpisah dengan yang terkasih walau itu sementara. Ingin hati berjumpa denganmu, Nisa. Sehingga di bulan ketujuh, Aku memaksa Naufal agar ia mengizinkanku pulang, meski persentase kesembuhanku belum mencapai 100 persen.

Ternyata pertemuan denganmu hanya mampu mengobati rinduku. Namun, penyakit ini tampaknya tak kunjung sembuh. Sekali lagi maafkan keegoisan karena terpaksa membuatmu membenciku dan menggugatku. Aku khawatir karena penaykitku ini, sewaktu-waktu Aku dapat mencelakkanmu lagi seperti ketika perjalana pulang dari restoran Koko. Maaf telah membuatmu menjauh dariku demi keselamatanmu.

Hari ini Aku akan ke Batam untuk menjalani terapi untuk menyembuhkan sakit jiwa yang kuderita ini, tetapi entah sampai kapan Aku harus tinggal di sana. Terimalah permintaan maafku. Tetap tinggallah di rumah impian kita di pesisiran utara, Teluk Buton. Terdapat sekeping cintaku yang sampai saat ini masih Kutitipkan padamu. Tunggulah kepulanganku di sana, Nisa. Wassalam.”

Aku pun menyalakan mesin mobil dan bergegas pulang ke rumah impian kami. Aku pulang dengan membawa suatu persaan yang aneh. Hatiku berdebar-debar, ingin menangis tetapi bingung karena apa, ingin tersenyum lebar tetapi tak ada alasan yang pasti untuk itu. Meski lisan berucap benci, tetapi terasa berat bagiku untuk membohongi perasaan yang bergejolak di hati. Bagiku yang pasti saat ini adalah Aku akan pulang keTeluk Buton dan akan selalu menjaga sekeping cinta yang dititipkan oleh Bambang di pesisiran utara ini hingga batas waktu yang hanya Tuhan yang tahu. Setahun kemudian Bambang pun pulang dan menepati janjinya untuk mengikat kembali jalinan kasih di antara kami berdua dengan akad pernikahan yang baru.

***

Keterangan pasal-pasal yang terkait dengan cerpen:

Pasal 113 butir b : Putusnya perkawinan akibat perceraian.

Pasal 116 butir f : Alasan perceraian karena “antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

Pasal 119 ayat 1 : Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

Pasal 119 ayat 2 butir b : salah satu talak Ba`in Shughraa adalah talak dengan tebusan atau khuluk

Pasal 131 ayat 2 : Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

Pasal 131 ayat 3 : Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

*Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Gugur Daun Musim Semi

Gugur Daun Musim Semi
Oleh: Ginanjar Nur W*

Izinkan diri ini untuk melupa, namun enggan untuk mendua. Jika memang merindu tak perlu bertemu, cukup bisikkan bait-bait kata do’a di dalam dinginnya malam yang syahdu. Akankah esok akan bertemu,  Aku enggan berjanji namun berusaha untuk mengekalkan mahligai ikatan janji suci. Semoga hatimu masih ada ruang untuk diri kembali, untuk menambatkan rasa rindu sedalam-dalamnya, hingga semesta cemburu membisu. Bersamamu mengarungi lautan lepas dengan menggunakan bahtera berlayar taqwa. Jika memang diperkenankan izinkanlah Aku menjadi nahkodanya.

Gadis itu tersenyum malu dengan muka  memerah padam ketika membaca sebuah surat yang diselipkan dalam mushaf al-Qur’an yang biasa dibacanya. Tulisan tangannya tertata dengan rapi dengan tinta biru perlambang rindu yang terus berkecamuk dalam kalbu. Ini adalah surat yang ke sekian kalinya yang  dibaca dan diterima oleh gadis itu. Dalam surat itu selalu diakhiri dengan inisial yang sama, yaitu FM.

Senja memadam di barat kaki langit. Menjemput petang, menyapa rembulan didalam peraduan angkasa. Adalah Hafsah, seorang gadis berusia dua puluh satu tahun dengan paras cantik dan perangai akhlaknya. Akhir-akhir ini dia sering mendapatkan surat misterius dengan inisial pengirim yang sama. Surat itu selalu diselipkan dalam lembaran-lembaran mushaf kitab suci.

FM, inisial ini selalu memenuhi seluruh ruang pikiran Hafsah. Dia benar-benar bertemu dengan pemilik surat itu, namun tak nampak jelas guratan paras wajahnya. Kakinya melangkah pelan namun pasti mendekati Hafsah. Hanya senyuman sapa yang sekilas terlihat seakan dia ingin menyapa Hafsah. Namun ketika pemilik surat itu berjalan mendekat, sedikit demi sedikit dia mendekat, semakin dekat, dan semakin dekat, Hafsah terbangun.

“Ah, hanya mimpi!” gumam gadis itu dalam hati dengan nafas yang masih tersengal.

Kemudian beranjak membasuh muka, dan mengadukan segala kesah dalam bentang sajadah di tengah orang-orang masih nikmat meringkuk didalam selimutnya. Dia menengadahkan tangan memohon agar Sang Maha Kuasa mengabulkan bait-bait do’a yang dia panjatkan. Dan memohon untuk jawaban atas segela keresahan yang dirasa.

Di bagian bumi yang lain pada waktu jam yang sama. Seorang laki-laki juga tengah melangitkan sajak-sajak doa’a pada Sang Maha Kuasa. Menengadahkan tangan dengan penuh harap dan pasrah. Garis bening yang membasahi pipinya terlihat berkilauan, karena terkena terangnya sinar rembulan kala itu.

Hei, baru kali ini laki-laki itu membentangkan sajadahnya di tengah orang-orang yang lain masih asyik dengan episode mimpinya. Ya, dia masih ingat betul terakhir kalinya dia membentangkan sajadah pada Sang Maha Kuasa di sepertiga malam. Ketika laki-laki itu tengah menjalani Ujian Nasional SMA di daerahnya. Hampir setiap malam dia terbangun dan berdo’a kepada Sang Maha Kuasa, agar cita-citanya menjadi seorang dokter bisa terwujud.

Farhan Mubarok, seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun yang dulu ketika SMA pernah berdo’a kepada Sang Maha Kuasa untuk menjadi dokter. Orang tuanya menamainya dengan nama Farhan Mubarok agar mempunyai sifat periang, dan bertabiat penyanyang serta menjadi pribadi yang rajin bersembahyang.

Namun semua itu berbeda sebaliknya, Farhan yang sekarang berusia dua puluh lima tahun, yang bekerja menjadi seorang dokter. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan segala aktifitas yang melalahkan. Dia masih hidup sendiri dan membeli rumah yang cukup sederhana namun tetap terlihat megah di sebuah perumahan tengah kota.

Hari-harinya sudah habis digunakan untuk mengejar dunia. Terkadang dia selalu menunda-nunda waktu untuk melakukan shalat. Jangankan untuk melaksanakan shalat tahajud di sepertiga malam, shalat subuh pun Farhan sering bangun kesiangan. Semenjak cita-citanya terwujud, rasa resah dan kegundahan selalu hadir dalam sebagian kehidupannya. Pada waktu itulah Farhan  pertama kalinya memohon pada Sang Maha Kuasa di sepertiga malam setelah dirinya lulus dari SMA dua belas tahun yang lalu.

Toko buku di depan rumah sakit, merupakan jawaban dari keresahan Farhan selama ini. Semenjak pertemuannya dengan penjaga toko buku waktu itu, dia langsung tertegun melihat seorang penjaga toko buku yang setiap kali menunggu pembeli yang datang, dengan menghabiskan waktunya bersama mushaf al-Qur’an berawarna merah hati di meja kasir.

Ya Tuhan, ternyata gadis itu selalu Farhan temui melakukan shalat duha di dalam masjid rumah sakit ketika dia berangkat kerja. Hijabnya yang terjulur lebar terdapat sebuah pin nama tanda pengenal pegawai toko yang bertuliskan Hafsah Azahra, dibawahnya juga tertulis degan kata kasir. Semenjak kejadian itulah Farhan sering pergi mengunjungi toko buku. Dia pergi bukan untuk membeli salah satu buku yang ditata rapi di rak-rak yang memanjang, melainkan untuk sekedar menyelipkan sebuah surat di dalam mushaf Hafsah.

 Ketika para karyawan sedang istirahat untuk shalat dzuhur, Farhan diam-diam di sela-sela istirahatnya bergegas pergi ke toko buku untuk menyelipkan surat di dalam mushaf Hafsah, yang selalu diletakkan di atas meja kasir. Jarak antara rumah sakit tempat Farhan praktek dan toko buku tempat Hafsah bekerja hanya dibatasi oleh jalan raya. Dekat sekali, hanya memakan waktu lima menit perjalanan kaki.

“Perkenankan,” sebuah surat terakhir yang diselipkan Farhan didalam mushaf Hafsah. Sebuah surat ajakan untuk mengarungi samudra luas dengan bahtera yang sama berlayar taqwa. Jika memang diperkenankan Farhan meminta izin untuk menjadi nahkoda dalam bahtera yang sama tersebut.

“Besok aku akan berkunjung, pastikan salah satu dari kedua orang tuamu ada di rumah.” Farhan mengakhiri pesannya dengan tulisan tangan tinta berwarna biru.

“Apakah laki-laki ini akan datang melamar?” Hafsah hanya bisa berkata dalam hati, tatapannya melamun menatap deretan buku-buku yang ditata rapi di atas rak.

Anggapan Hafsah memang benar adanya. Selepas kedua belah pihak keluarga sudah saling bersepakat, pada akhirnya tanggal pernikahaan itu telah ditentukan. Janur kuning sudah tertanam di depan rumah. Tenda biru sudah megah kokoh berdiri. Meja dan kursi sudah berbaris rapi bagaikan pasukan upacara bendera hari senin pagi. Rantang-rantang makanan berjejer rapi di atas meja berselimut taplak berwarna biru tua.

“Saya terima, nikah dan kawinnya Hafsah Azahra binti Jamaludin dengan maskawin seperangkat alat shalat dan uang tunai yang telah disebutkan dibayar tunai” lantang dan bersemangat Farhan mengucapkan ikrar janji itu.

“Bagaimana para saksi?” Bapak penghulu hanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sebuah kepastian jawaban.

“Sah, sah, sah!” gumam para saksi disekeliling mereka.

“Alhamdulillah” serentak semua mengucapkan kalimat tahmid.

Setahun setelah pernikahan Farhan dan Hafsah, kehidupan keluarga mereka masih dalam taraf normal tidak ada permasalahan-permasalahan yang memberatkan. Farhan masih tetap bekerja sebagai dokter, dan Hafsah tetap diizinkan suaminya menjadi kasir toko buku. Sebuah keluarga sederhana yang sangat bahagia di tengah-tengah bumingnya angka perceraian pernikahan usia muda pada waktu itu.

 Waktu berjalan semakin cepat, meninggalkan berjuta kenangan yang masih melekat dalam akal dan pikiran. Farhan dipromosikan menjadi pimpinan tinggi rumah sakit, karirnya melonjak sangat drastis. Berarti  waktu untuk bersama Hafsah akan berkurang. Ya, waktu bersama Hafsah memang berkurang. Lihatlah Farhan  akhir-akhir ini yang jarang pulang ke rumah, sekalipun dia pulang ke rumah itu pun sudah larut malam.

Lembur kerja menyelesaikan administrasi ini dan itu, memimpin rapat ini dan itu, mengisi seminar kesana kemari, pergi ke luar kota mengadakan acara kerja sama dengan pihak rumah sakit lain, dan banyak hal lagi yang menjadikan Farhan semakin sibuk. Pada akhirnya, Hafsah yang dulu selalu bernagkat menjaga toko diantar oleh suaminya, sekarang dia harus bernagkat dan pulang hanya seorang diri.

Rumah tangga mereka berdua mulai terkikis rasa keharmonisannya. Ditambah lagi sebuah kasus yang menimpa Farhan. Namanya tertuduh dalam daftar deretan tersangka kasus korupsi, penggelapan uang pembangunan proyek rumah sakit yang didirikan di tengah kota. Setelah rumah sakit itu berdiri tinggi dan megah, tidak mencapai usai sepuluh tahun berdiri, rumah sakit itu bangkrut karena terbakar. Uang Farhan sudah terkuras habis untuk mengganti ganti rugi dan pesangon para pegawai. Pada kondisi inilah perasaan Farhan mulai terombang-ambing.

Rembulan indah memancarkan sinar, bintang gemintang tumpah ruah memenuhi angkasa. Ditengah romantisnya makan malam kala itu, ada sebuah tema pembahasan yang seangat perlu untuk disampaikan.

“Duhai suamiku” Hafsah menatap mata suaminya dalam-dalam.

“Dahulu engkau adalah laki-laki penenang dalam kecamuk kegelisahan. Dahulu engkau adalah laki-laki pereda dalam amarah dan emosi yang membara. Namun sekarang engkau telah bersifat sebaliknya. Engkau selalu berbuat kasar baik perkataan maupun perbuatan semenjak kasus yang menimpa dirimu, dan engkau juga selalu pulang malam dengan alasan mengurus urusan ini dan itu.” Hafsah hanya mengaduk-aduk secangkir cokelat panas yang disajikan oleh pramusaji.

“Aku ini isteri mu, Mas!” matanya menatap suaminya dengan tajam.

“Sekarang ini engkau sudah jarang memperhatikanku. Engkau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Sedangkang aku. Isterimu sendiri, kau tinggalkan di rumah begitu saja.” Hafsah menghela nafas.

“Ma, maa..” belum sempat mengucap kata maaf, Hafsah memotongnya.

“Aku sudah lelah Mas. Secepatnya juga pulangkan saja aku pada rumah mertuamu!” Hafsah berdiri beranjak dari tempat duduknya, pergi meninggalkan Farhan, dan secangkir cokelat panas yang sudah berubah menjadi dingin.

Tiga hari setelah kejadian makam malam itu, Hafsah menggungat cerai suaminya ke pengadilan agama. Setelah hakim menerima gugatan tersebut, sempurna sudah gugatan cerai yang diajukan oleh Hafsah. Sekarang ke duanya hidup berpisah. Hafsah kembali ke rumah orang tuanya dan masih bekerja sebagai penjaga toko buku. Sedangkan Farhan masih menetap di rumahnya dengan masalah yang belum terselesaikan.

Senja memadam di barat kaki langit, bergaris jinggah indah melukis bumi. Hafsah seakan tidak percaya dengan jalan kehidupannya. Sebuah bahtera rumah tangga yang dulu sangat didambakannya, kini telah hancur menyisakan kenangan yang menyakitkan. Cinta memang bukan segalanya, namun dengan cinta seseorang bisa berbuat apa saja.

Satu bulan berpisah dengan Hafsah. Kasus yang menimpa Farhan satu persatu terselesaikan. Polisi berhasil menyelesaikan tugasnya. Menemukan pelaku-pelaku yang terlibat dalam kasus pembakaran rumah sakit yang didirikan oleh Farhan bersama teman-temannya. Polisi pun juga telah menetapkan seorang dalang dalam kasus tersebut dengan bukti-bukti yang kuat. Selain itu kasus penuduhan korupsi yang menyeret nama Farhan pun terselesaikan. Hakim tidak bisa menetapkan Farhan sebagai tersangka, karena tidak ada bukti-bukti yang kuat didalam kasus ini.

Awan berarak menghias angkasa, angin berhembus sepoi menggerak ujung rambut yang terjuntai. Farhan duduk termenung didepan teras rumah, dia melihat seorang Ibu yang sedang menjemput anaknya pulang dari taman kanak-kanak. Seketika itu juga Farhan teringat dengan mantan isterinya, yang dulu pernah menggugatnya cerai. Ya, dia menrindukan Hafsah. Farhan dulu pernah bermimpi bahwa Hafsah kelak pasti akan menjadi Ibu yang baik untuk anak-anaknya. Namun mimpi itu sudah terjatuh sebelum digapai, karena gugatan cerai yang diajukan oleh Hafsah ke pengadilan agama.

Matahari semakin condong ke arah barat, bersamaan dengan awan pekat yang menggantung di atas langit. Satu persatu tetes air mulai terjatuh membasahi angkasa. Hujan memang mempunyai cerita seru bagi seseorang yang sedang merindu. Begitu pula dengan Hafsah, ditengah rintik nyanyian hujan. Dia membaca surat-surat lama yang pernah Farhan kirim untuk dirinya. Hafsah tersadar, bahwa dia tidak bisa hidup terus menyendiri. Tekatnya sudah bulat untuk mengajak Farhan untuk rujuk kembali. Orang tuanya pun semenjak perceraiannya dengan Farhan selalu menyarankan untuk segera rujuk kembali.

Pada waktu itu juga, ketika hujan semakin deras membasahi bumi. Hafsah menuliskan sebuah surat untuk Farhan. Sebuah surat yang dituliskan dengan tinta berwarna biru.

“Untuk mantan suamiku, aku tak bisa mendebat hatiku. Karena rindu yang dulu pernah kau tabur dalam hatiku, mengajakku untuk merujukmu kembali.” Kalimat pertama yang dituliskan Hafsah dalam kertas putih tak bergaris.

“Apakah dirimu sudah benar-benar melupakanku, semoga saja tidak. Masih ingatkah dirimu, tentang surat-surat yang dulu pernah kau kirimkan kepadaku. Aku masih menyimpannya. Ya, aku benar-benar menyimpan semua surat itu.” Hafsah terdiam, sejenak dia melihat bulir-bulir air yang jatuh ke tanah.

“Aku memang tak bisa merangkai kata, seperti halnya kata yang dulu pernah kau tuliskan untuk diriku. Aku hanya ingin memohom kepadamu. Izikanlah aku untuk kembali memanggilmu dengan nama panggilan suami.” Air mata Hafsah menetes. Dia tak kuasa lagi melanjutkan tulisan suratnya, dalam pikirannya selalu muncul anggapan-anggapan buruk. Dia takut jikalau Farhan enggan untuk diajak rujuk kembali.

Tiga hari kemudian surat yang dikirim Hafsah telah dibaca oleh Farhan. Dia hanya menghela nafas, memandang luasnya langit dibalik jendela kaca rumahnya. Matanya terkadang menyelidik setiap baris kata yang ditulis oleh Hafsah, dan dia tersenyum. Lama sekali dia tersenyum dengan mata yang terpejam, membayang senyum seorang gadis penjaga toko buku kala itu.

Surat dibalas dengan surat. Begitulah yang dilakukan Farhan ketika itu. Seketika itu juga Farhan menuliskan balasan surat untuk Hafsah, masih dengan tinta biru yang sama seperti dulu.

“Untuk seorang gadis penjaga toko buku yang dulu sempat aku kagumi” Farhan menulisnya dengan menggunakan huruf kapital.

“Aku kurang mengerti bagaimana isi hatimu saat menuliskan surat ini. Yang pasti, jikalau engkau menyanyakan tentang rindu. Ya, aku juga sama merasakan rindu itu” lisannya tersenyum kecil saat membaca kembali apa yang dia tulis.

“Namun ada hal kecil yang harus aku sampaikan kepadamu. Bahwa sebuah ikatan pernikahan itu ibarat sebuah pohon. Dia akan selamanya tumbuh dan akan menua pada saat waktunya tiba. Bahkan dia juga akan mati, jika memang Tuhan menghendakinya. Pohon yang terus tumbuh akan menghasilkan buah yang lebat dan ranum. Selain itu, pohon itu juga akan bermanfaat bagi mahluk hidup di sekitarnya.

Ada kalanya pohon itu akan kehausan kekurangan air. mengakibatkan membuat layu setiap daun yang dulunya hijau segar. Maka sebuah pernikahan tak semudah untuk digugurkan, layaknya angin yang dengan mudah menggugurkan daun kering di musim semi. Kemudian jatuh ke tanah dan lenyap.

Namun tak selamanya daun yang jatuh ke tanah melenyap berarti tak berguna, ada saatnya dia akan terurai dan menjadi humus. Menumbuhkan setiap pohon dan tumbuhan yang ada di sekitarnya.” Hanya itu yang dituliskan Farhan untuk membalas surat dari Hafsah. Dia belum memberi jawaban pasti dari ajakan Hafsah untuk rujuk kembali.

Tuhan memang Maha tahu, Dia mengetahui setiap hati orang-orang yang sedang dikepung rindu dengan cinta yang membara. Satu minggu berikutnya Farhan memberi kejutan untuk Hafsah. Dia mengajukan rujuk ke pengadilan agama, dan hakim menerimanya. Akhirnya seorang gadis penjaga toko buku itu kembali menemukan penyempurna pada sebagian agamanya. Tersenyum gembira dengan guratan wajah penuh kebahagiaan.

Pasal 163

(1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk

*Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah