Akhlak dalam Pekerjaan dan Profesi

Islam merupakan agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk dalam hal mencari penghidupan, agama Islam memberikan tuntunan agar umatnya tetap berada dalam jalur yang diridai Allah Swt. sebagai Tuhannya. Sebab, mencari penghidupan dengan bekerja merupakan perintah Allah Swt. baik secara tersurat maupun tersirat.

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya, “Tiada makanan yang lebih baik bagi Anak Adam kecuali yang didapatnya dari hasil tangannya sendiri.” Hadis tersebut menyiratkan bahwa bani Adam haruslah bekerja agar apa yang dikonsumsinya merupakan sesuatu yang terbaik di mata Allah. Oleh karena itu, bekerja yang dilakukan pun akan otomatis didasari prinsip lillâhi ta’âlâ.
Di dalam Islam, melakukan suatu pekerjaan bukan sekedar bentuk aktualisasi kompetensi yang melahirkan kepuasan tersendiri. Lebih dari itu, bekerja dipandang sebagai manifestasi konkret dari misi penciptaan manusia yang Allah firmankan melalui Q.S. Az-Zariat [51: 56], “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Dengan demikian, bekerja merupakan bukti nyata ibadahnya seorang hamba.

Bekerja memiliki berbagai keistimewaan yang dijelaskan baik di dalam al-Quran, hadis Nabi Saw., maupun perkataan sahabat. Misalnya dari Q.S. Al-Muzzamil [71: 20] bisa diketahui beberapa keistimewaan bekerja. Diantaranya ialah, pertama, disamakan dengan al-jihâdu fî sabîlillâh. Dalam ayat tersebut terdapat huruf wawu yang menunjukkan kesetaraan bekerja (yadhribûna fil ardh) dengan berjihad. Bekerja tidak hanya disetarakan dengan jihad, bahkan juga merupakan salah satu aktualisasi jihad.

’Umar bin Khattab ra bahkan sampai mengatakan bahwa baginya, wafat dalam keadaan sedang bekerja lebih disukainya jika dibandingkan dengan wafat ketika tengah berjihad. Hal tersebut karena dalam ayat 20 surah al-Muzammil disebutkan bekerja terlebih dahulu sebelum berjihad sehingga dimaknai sebagai keutamaan bekerja atau mencari penghidupan. Kedua, seorang pekerja diperbolehkan meninggalkan salat malam jika ia merasakan begitu letih setelah mencari nafkah seharian.
Keistimewaan lainnya ialah bahwa rasa letih yang disebabkan karena bekerja akan menjadikan orang yang merasakannya mendapat ampunan. Imam At-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang merasa lelah di waktu sore lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka saat itu ia diampuni dosa-dosanya.” Bekerja juga merupakan bentuk menjalankan sunah bahkan termasuk menjalankan perbuatan para Nabi. Dalam Q.S. Al-Furqan [25: 20] Allah Swt. berfirman, “dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” Maksud ayat tersebut ialah mencari penghidupan atau bekerja.

Dalam suatu hadis riwayat Imam al-Bukhari, Rasulullah Saw. bahkan pernah mengatakan bahwa Allah Swt. tidak mengutus seorang Nabi kecuali dia menggembala kambing. Rasulullah Saw. pernah menggembalakan kambing dengan upah beberapa qirath dari penduduk Makkah. Selain itu, Rasulullah saw. merupakan seorang pedagang. Maka, jelaslah bahwa pekerja termasuk meneladani perbuatan Nabi Saw. baik itu di sektor ekonomi, industri, atu lainnya selama jalan yang ditempuh tidak melanggar syariat.

Adapun tuntunan yang distandarkan dalam melakukan suatu perkerjaan diantaranya ialah, pertama, memiliki kekuatan. Sebab seseorang yang mengemban suatu pekerjaan tidak hanya harus memiliki kekuatan secara moral-spiritual melainkan harus memiliki kekuatan fisik. Hal tersebut sesuai dengan kisah di dalam Quran Surah al-Qashas [28: 26] ketika salah satu putri Nabi Syu’aib berkata, “wahai ayahku, jadikanlah dia sebagai pekerja (kita). Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Kekuatan tentu sifatnya relatif, bergantung pada ranah atau wilayah seseorang melakukan pekerjaan. Misalnya, kekuatan bagi seorang tentara termasuk di dalamnya ialah keberanian. Namun, kekuatan bagi seorang hakim bermakna penguasaan ilmu-ilmu tertentu yang mendukung pemutusan suatu perkara, sifatnya yang adik dan bijaksana sesuai Quran dan Sunnah, serta penguasaannya terkait hukum-hukum tersebut.

Kedua, bersifat amanah. Dalam hal ini, maksudnya ialah mumpuni dan ahli dalam membidangi suatu profesi yang diberikan padanya. Sebab, dikabarkan dalam suatu hadis bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya oleh seorang Baduwi tentang waktu hari kiamat. Beliau menjawab bahwa kiamat tidak akan terjadi sampai amanah sudah diabaikan oleh orang-orang. Ketika ditanya maksudnya, Rasulullah Saw. mengatakan bahwa apabila suatu urusan diserahkan pada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya (kiamat pun akan terjadi).

Ketiga, seseorang harus memiliki sifat itqân yakni menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat. Ketepatan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku, standar operasional, tepat dalam hal waktu, target, sasaran, dan sebaginya. Selanjutnya, seseorang juga dituntut untuk menunaikan amanah pekerjaan yang diberikan padanya. Dalam suatu hadis riwayat Imam al-Bukhari, dikatakan bahwa apabila seseorang menunaikan pekerjaannya maka ia akan diberikan suatu energi untuk menyelesaikannya. Namun, jika ia melakukan suatu pekerjaan dengan niat mencederai maka ia akan dibinasakan.

Kelima, seseorang harus menjaga rahasia-rahasia yang ada di tempatnya bekerja meskipun tidak dipesankan secara tersurat. Namun, jika ia mengetahui bahwa terdapat sesuatu yang tak pantas diketahui oleh orang lain, sudah sepantasnya ia menjaga hal tersebut agar tidak diketahui pihak luar tempat ia bekerja bahkan menjaganya agar tak ada yang mengetahui. Terakhir, seseorang tentu bersikap ihsan. Ia merasakan bahwa dirinya tak pernah luput dari pengawasan Allah Swt. sehingga apa yang dilakukannya selalu baik dan tidak keluar dari jalan lurus. Dengan begitu, pekerjaan seseorang tidak akan membuatnya lalai atau melupakan Allah Swt.

Penulis: Erna Melasari
Sumber: Kajian Ustaz Fathurrahman Kamal yang disiarkan virtual melalui youtube Islamic Center UAD pada Rabu, 17 Ramadhan 1442 H/28 April 2021 M.

Kepesantrenan: Kiat Menjadi Santri Sukses dan Teori Membangun Pesantren


Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta mengadakan pengajian pertamanya di bulan Suci Ramadan, yaitu Diaspora Alumni. Forum pengajian ini diisi oleh beberapa alumni sebagai narasumbernya. Forum ini diadakan selama Ramadan, lebih tepatnya setiap hari Ahad. Pengajian perdana diisi oleh Sujino, alumni PUTM angkatan ke-6 tahun 1999 yang berasal dari daerah Metro Lampung (18/4).

Dahwan Muchrodji selaku mudir PUTM dalam sambutannya menuturkan bahwa pengajian di bulan Ramadan ini adalah pengajian yang pertama dilakukan sebagai pengganti dari kegiatan Mubaligh Hijrah (MH) para thalabah PUTM. Beliau juga menyebutkan bahwa tema pengajian yang diusung sangat strategis karena membahas tentang kepesantrenan yang dalam Undang-undang (UU) nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren sudah diakui sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.

Selain itu, Dahwan juga menyebutkan peranan alumni PUTM yang dibutuhkan di masyarakat, 98% alumni ditempatkan di lembaga pendidikan, seperti pesantren, sedangkan 2% lagi ditempatkan di lembaga-lembaga amal usaha yang ada di PDM, dsb. Kemudian, dalam laporan LP2M (lembaga pengembangan Pesantren Muhammadiyah) bahwa jumlah pesantren Muhammadiyah sudah hampir mencapai angka 400, tetapi dari sekian banyak itu masih terdapat faktor kendala yang di antaranya adalah para ustaz (tenaga pengajar). Ini terbukti dengan banyaknya permintaan kepada PUTM agar dikirim para alumninya ke pesantren-pesantren tersebut, karena kekurangan jumlah alumni yang dihasilkan, PUTM tidak bisa memenuhi seluruh permintaan tersebut.

Dalam pengajian Diaspora Alumni, Sujino menyampaikan kepada para thalabah dan orang tua/wali thalabah mengenai kiat menjadi santri sukses dan ditutup dengan teori membangun pesantren. Sujino menyampaikan lima kiat untuk menjadi santri yang sukses; bersemangat tinggi, paham skala prioritas, sabar dan syukur, senantiasa bermodal positifisme, serta kenali dan kembangkan potensi.

Pertama, bersemangat tinggi. Santri yang bersemangat tinggi adalah santri yang memiliki target, tekad, keyakinan prima, konsentrasi/fokus, serta tangguh dan tidak mudah menyerah. Kedua, paham skala prioritas. Waktu adalah asset yang sangat berharga dan santri tidak bisa menjadi apa yang diinginkan atau meraih segalanya, kecuali dengan menentukan skala prioritas, yaitu menginventarisir hal-hal yang harus dilakukan atau dikerjakan terlebih dahulu.

Ketiga, sabar dan syukur. Sabar yang dimaksud adalah sabar dari fitnah syahwat—berhubungan dengan lawan jenis—dan syubhat, sabar dari kekurangan materi dan dari hal yang kurang menyenangkan. Sedangkan syukur adalah syukur terhadap karunia yang Allah berikan (berupa kesempatan belajar), syukur masih dipercaya oleh orang tua dan persyarikatan, serta syukur masih ada—orang-orang sekitar—yang memperhatikan kita.

Keempat, bermodal positivisme. Positivisme yang dimaksud adalah berpikir positif, bermental positif, berhati positif, bertindak positif, berbicara positif, dan berkeyakinan positif. Terkahir kelima, kenali dan kembangkan potensi. Santri sukses senantiasa jangan sesali kelemahan yang dimiliki, justeru harus menjadi motivasi untuk lebih bersemangat lagi, lalu tutupi kelemahan yang dimiliki dengan potensi yang dimiliki, serta kembangkan potensi diri dengan menggunakan manajemen strategi.

Selanjutnya, teori membangun pondok pesantren Muhammadiyah. Pasca beliau berhasil membangun dan mengembangkan pondok pesantren di Metro Lampung, beliau membuat beberapa teori yang digunakan. Pertama, gunakan analisis SWOT—Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan), and Threats (ancaman/bahaya)—dalam merancang, membangun, dan mengembangkan pesantren. Kedua, memiliki pasangan hidup yang selaras, tentunya yang memiliki visi dan semangat yang sama, serta siap untuk memberikan dorongan. Ketiga, perkuat jiwa ikhlas, mujahadah, ukhuwah, merdeka, istiqamah, dan sabar dalam membangun dan mengembangkan pondok. Keempat, bermental petarung yang siap berdarah-darah dan banyak mengeluarkan air mata dalam perjuangan membangun dan mengembangkan pondok. Kelima, pahami ruh manajemen, yaitu manajemen pondok pesantren. Keenam, jadilah muharrik (penggerak) persyarikatan, bukan muharrak (orang yang digerakkan). Ketujuh, siap jadi qudwah (teladan) dalam segala hal dan siap juga memperbanyak relasi (kawan).

Dalam pengajian tersebut, Sujiono juga menyampaikan lima unsur pondok pesantren yang harus dimiliki atau dipenuhi, yaitu ustaz, santri, kurikulum, masjid, dan asrama. Sebuah pondok pesantren harus memiliki ustaz atau tenaga pengajar dan juga santri-santri yang siap belajar. Lalu sebuah pondok juga harus jelas kurikulum pendidikannya, serta pondok harus memiliki masjid sebagai sarana memberikan pendidikan dan juga ibadah. Selain itu, asrama juga menjadi unsur penting sebuah pondok sebagai tempat para santri menetap atau bersitirahat. Demikianlah kelima unsur pondok pesantren. Ketika lima unsur ini dipenuhi, maka sebuah pondok pasti dapat dibangun dan dikembangkan.

*Tulisan ini bersumber dari pengajian Diaspora Alumni PUTM yang disampaikan oleh Ustaz Sujiono, M.Pd, alumni PUTM ke-6 angkatan tahun 1999.

Ahmad Farhan Juliawansyah
(Thalabah PUTM Semester 6)