Akhlak Kepada Allah dan Rasulullah

Dipublikasikan oleh putm pada

Ajaran akhlak dalam Islam dibahas baik secara konseptual maupun praktis. Puncak akhlak di dalam Islam, tentu ialah akhlak kepada Allah Swt., sebagai Sang Pencipta dan Pengatur segala sesuatu yang ada di alam semesta. Dengan demikian, sudah seyogyanya manusia membangun hubungan sebaik-baiknya kepada Allah Swt. yang senantiasa menganugerahkan kehidupan terindah. Hal tersebut disampaikan oleh Ustaz Fathurahman Kamal, dalam Kajian Islami Pagi Hari (21/04/21) yang diselenggarakan masjid Islamic Center UAD.

Akhlak paling utama dalam jalinan relasi antara manusia dengan Allah Swt. adalah takwa. Definisinya secara populer ialah memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti, yakni siksaan Allah Swt., dengan mengikuti semua perintah-Nya dan mejauhi segala larangan-Nya. Takwa menuntun manusia untuk meletakkan Allah Swt. sebagai pencipta dan memposisikan dirinya sebagai seorang hamba. Karena itulah, takwa bukan sekedar konsep abstrak semata melainkan sebagai konsep ajaran islam yang konkret dan nyata.

Takwa merupakan hubungan aktif antara khalik dan makhluk. Konsekwensi logis yang dimilikinya berkelindan antar sesama manusia bahkan dengan alam raya. Prof. Dr. Afîf ‘Abd al-Fattâḥ Thabbârah di dalam karyanya, Rûḥ ad-Dîn al-Islâmi, mendefinisikan takwa sebagai tindakan seseorang yang menanamkan rasa takutnya dalam bentuk memelihara diri dari segala sesuatu yang dimurkai Allah Swt. termasuk memproteksi diri dari sesuatu yang merusak diri dan alam sekitar.

Hakikat takwa termuat dalam Q.S. Al-Baqarah [02: 177] yang dirincikan dari kebaikan (al-birr). Kebaikan hakiki merupakan penyatuan antara empat aspek yang saling terpaut. Pertama, aspek transenden kepada Allah Swt. terkait keimanan pada-Nya, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Kedua, dimensi horizontal sesama manusia, terwujud dengan memberi pertolongan, infak sodaqah dengan penuh kerelaan hati kepada kerabat, anak-anak yatim, para miskin, musafir, peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya. Ketiga, aspek religius seperti menegakkan sholat, menunaikan zakat, dan memenuhi perjanjian. Keempat, aspek mental yaitu sabar dalam segala penderitaan dan kesempitan.

Secara sederhana, takwa berarti mengintegrasikan keimanan, keislaman dan keihsanan seseorang. Iman tercermin dalam relasi vertikal antara hamba dan Tuhan, sedangkan keislaman tergambar dari tata laksana ibadah mahdah yang dilakukan. Adapun representasi dari keihsanan ialah kesalehan dalam hal kemanusiaan horizontal. Dengan demikian, takwa tidak berjalan dalam satu arah, melainkan termanifestasikan dalam semua bidang kehidupan.

Q.S. Ali Imran [03] ayat 102 memerintahkan untuk bertakwa secara maksimal. Lafal haqqa tuqâtihi yang digunakan dalam ayat tersebut sejalan dengan hadis riwayat at-Tirmidzi yang memerintahkan untuk bertakwa di mana pun berada. Hal tersebut menunjukkan bahwa totalitas ketakwaan seseorang tidak boleh parsial namun justru harus melampaui ruang dan waktu.

Ketakwaan bisa diidentifikasi lebih lanjut dengan mencermati al-Quran, misalnya yang membuahkan al-furqân dan keberkahan. Al- Furqân ialah kecerdasan mental spiritual dalam memilah sesuatu yang hak dan batil. Terlebih, di era digital ketika kebenaran tak lagi dikembalikan pada sumber-sumber yang valid, baik validitas secara wahyu (ajaran agama dan normatis) maupun secara ilmu pengetahuan.

Dasar konstruksi kebenaran masa kini yang lebih mempertimbangkan perasaan dan nalar komunal di mana dia berada—sehingga mengesampingan kepentingan orang lain, menuntut mentalitas ¬al-furqân seseorang. Kehidupan kini yang dikatakan sebagai dunia simulatra oleh para ilmuwan sosial, menyamarkan hal-hal yang menjadi kenyataan dan sekedar settingan. Hal tersebut tentu sangat membutuhkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional seseorang untuk menghadapi persoalan yang ambigu di sekitarnya.

Selain al-furqân, takwa juga berbuah keberkahan yang seakar kata dengan lafal al-birkah (kolam). Secara filosofis, kolam memiliki air yang melimpah dan dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan yang berlaku universal karena semua membutuhkan air sebagai sumber kehidupan. Seperti air, manusia bertakwa harus mempertanyakan manfaat keberadaannya untuk orang lain baik secara fisik maupun manfaat nonfisik. Sebab jika kehidupan seseorang diberkahi, dia akan bisa memberikan makna kepada sesama serta alam semesta.

Ketakwaan juga mampu menghadirkan segala solusi dalam kehidupan. Allah Swt. akan memberikan jalan keluar, rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan kemudahan dalam urusan-urusan. Hal tersebut dapat menumbuhkan rasa cinta, ridha, ikhlas, syukur, dan sebagainya yang menjadi derivasi takwa.

Mencintai Allah akan mendorong cinta kepada Rasulullah Saw. sebagaimana perintah-Nya dalam Q.S. Ali Imran [03:31]. Akhlak tertinggi kepada Nabi Saw. ialah beriman dengan segala yang ia ajarkan dan mengikutinya. Meskipun sosok Rasulullah Saw. sudah tak ada lagi di tengah-tengah umat masa kini, namun secara spiritual, beliau selalu ada membersamai. Hadis-hadis yang sampai kepada manusia akhir zaman adalah bukti bahwa secara rohani, Rasulullah Saw. masih bisa dirasakan keberadaannya.

Salah satu ekspresi cinta tersebut ialah dengan berselawat. Dikabarkan bahwa siapa saja yang berselawat kepada beliau, maka Allah Swt. akan membalas untuknya dengan sepuluh kali selawat. Di dalam riwayat lain bahkan dikabarkan bahwa siapa yang mengucap selawat pada Nabi Saw. maka Allah Swt. mengembalikan ruh Rasulullah Saw. sehingga beliau bisa menjawab selawat tersebut. Semoga Allah Swt. memberikan kemudahan bagi setiap muslim untuk menjadi orang bertakwa dan mencintai nabinya.


Penulis: Erna Melasari (Semester 6 PUTM)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *