Sekeping Cinta Pesisir Utara

Sekeping Cinta Pesisir Utara
Oleh Ikhwannushshafa*

Sore itu, di tempat yang sama seperti dua puluh tahun silam. Restoran makanan  China ‘Ko-Ko’, sesuai dengan nama panggilan pemilik restoran ini. Koko adalah kakak kelasku sewaktu SMA. Aku dan suamiku, Bambang, duduk di tempat favorit kami yang telah dipersiapkan oleh Koko sebelumnya untuk kami berdua. Ia tak pernah lupa hari pernikahan kami, karena di restoran inilah kami mengadakan resepsi pernikahan.

Ia mendisain meja makan kami dengan suasana romantis ala anak remaja zaman old. Meja makan yang berbentuk bundar itu dihiasi dengan setangkai mawar merah yang diletakkan dalam sebuah vas ramping berwarna putih. Dibalut cahaya jingga lampu meja nuansa romantis di atas meja tersebut semakin bertambah. Sehingga tak sedikit mata-mata cemburu melihat kemesraan kami bergumam lirih,

So sweet bingit…”

Tak lama kemudian dua porsi kwetiau seafood dan segelas air nyok mude’ (kelapa muda) ukuran jumbo pun datang. Kami menikmati makan malam sambil bernostalgia akan masa-masa remaja saat di SMA. Momen-momen ketika kami pernah saling suka tetapi tak pernah mengukap rasa, sering berjumpa tetapi malu-malu bertegur sapa. Mukaku memerah setiap kali bertemu dengannya dan diriku selalu salah tingkah jika dekat dengannya. Sedangkan Bambang berusah agar tetap stay cool di hadapanku dan tampak jelas dari pancaran matanya rasa suka yang ia sembunyikan dari diriku. Terkadang kami tertawa, tertunduk malu dan tak jarang mataku berkaca-kaca mengingat semua lembaran-lembaran kisah suka duka yang kami telah tuliskan bersama.

Di saat sang mentari siap menghujam horizon, Bambang menggeser kursinya ke sampingku untuk menatap sunset. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Akupun menyandarkan kepalaku ke bahunya, ia pun memeluk dan mengecup ubun-ubunku. Setelah sempurna matahari terbenam ia berbisik,

“Sayang, kita sholat maghrib dulu yuk!”

Ajakan itu sontak membuat diriku segera beranjak dari nyaman pelukannya. Kutatap ia lamat-lamat dengan wajah sedikit memelas agar memberiku kesempatan untuk dapat sedikit lebih lama dipelukannya. Akan tetapi percuma, seperti biasa ia akan memaksaku dengan senyuman lebar dengan kedua alis terangkat ala komedian Mr. Bean.

“Papa! Ih… ngeselin deh, lagi pewe tahu!”

Protesku dengan wajah cemberut namun berusaha keras menahan tawa, karena ekspresi wajahnya terebut mampu membuatku tertawa hingga menitikkan air. Parahnya, ia akan terus memasang ekspresi itu di depanku sampai Aku menuruti kemauannya.

***

Kumandang azan maghrib menggema di kolong langit pesisiran utara pulau Natuna. Debur ombak Laut Cina Selatan yang menghempas bibir pantai dan bebatuan granit raksasa ikut bertakbir mengiri lantunan panggilan shalat. Derik papan pelabuhan semakin berisik karena ramai pengunjung dan peduduk setempat yang berduyun-duyun ke surau terapung ‘Al-Muttaqin’ untuk shalat maghrib berjamaah.

Selesai shalat kami berjalan menuju gazebo di ujung pelabuhan. Debur ombak yang menabrak tiang-tiang pelabuhan, suara mesin kapal nelayan yang baru dinyalakan, dan gemerisik dedaunan nyiur yang tertiup angin menjelma irama syahdu mengiri setiap langkah kami.

Sesampainya di gazebo, Aku dan Bambang duduk menghadap laut sembari menikmati indahnya ribuan gugusan yang bertaburan di atas horizan bumi dan menjulurkan kaki ke lautan demi merasakan dinginnya setiap percikan air asin yang membasahi kaki. Aku kembali menyandarkan kepalaku di atas bahunya. Ia mendekapku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sedang sibuk melonggarkan kalungan syal yang meilingkari lehernya.

Tak lama kemudian terdengar langkah seseorang yang sedang mendekat dari arah belakang kami, Bambang pun menoleh untuk memastikan siapa itu. Ternyata Putri, anak perempuan bungsu Koko yang mengantar dua gelas kopi panas.

“Permisi, ini kopi spesial dari papa”

“Terima kasih Putri, kopinya taruh saja di atas meja ya cantik…” Bambang menggoda anak gadis itu.

“Sama-sama om, selamat menikmati” Dan sekarang wajahnya berubah merah tersipu malu.

“Uh… Papa genit, maafin om ya Putri, kalo udah malam sering kumat” Sambil Kutarik kumisnya.

“Minta maaf sama Putri atau mama cabutin semua kumis papa!” Ancamku.

Paras Putri memang sangat cantik. Wajah blasteran China Bugis itu dihiasi dengan rambut ikal berwarna hitam kecoklatan yang dikepang dua dan bentuk matanya yang tidak terlalu sipit semakin menambah keelokannya. Rupanya yang jelita tersebut membuatnya pantas untuk dinobatkan sebagai putri Koko yang paling cantik di antara kedua kakak perempuannya, yaitu Lusi dan Lili.

“Aduh, ma… maafin om ya can…, eh… Putri, maafin dong… maafin ya, ya, ya… au…”

“Iya om, Aku maafin…”

Putri pun beranjak pergi meninggalkan gazebo sambil tertawa kecil, mungkin karena merasa lucu melihat tingkah kami yang seperti pasangan anak muda.

Kami pun melanjutkan kencan kami yang beberapa kali sempat terputus sambil menyeruput seduhan kopi yang dipadukan dengan racikan rempah-rempah pilihan. Kopi dibuat sesuai dengan resep turun temurun keluarga Koko. Selain nikmat, kopi ini juga memiliki banyak khasiat, seperti menambah stamina, memperlancar metabolisme tubuh dan segudang manfaat lainnya.

Di sela kemesraan kami, tiba-tiba teleponku berdering. Setelah Kubuka ternyata ada pesan gambar masuk dari Firman. Pesan tersebut rupanya hasil USG kandungan istrinya, Julia. ‘Happy Anniversary’ terpampang jelas pada frame atas gambar tersebut. Mereka juga memberi tahu kami berdua bahwa besok akan berkunjung ke Teluk Buton selama seminggu. Aku merasa senang karena kelak Aku akan menjadi seorang nenek. Dan sekarang atmosfer kebahagiaan pada malam ini semakin menyesaki ruang dadaku. Berita dari Firman merupakan hadiah terindah yang selama ini Aku dan Bambang tunggu berpuluh-puluh tahun lamanya.

Malam semakin larut dan angin bertiup semakin kencang. Meskipun tidak berefek bagi kami tetapi para pengunjung restoran mulai sepi, mereka kembali ke penginapan dan bungalo masing-masing. Di restoran hanya tinggal Koko beberapa karyawannya yang sedang sibuk membersihkan restoran. Kami memutuskan untuk kembali bungalo milik Koko yang kami sewa.

“Kami istirahat dulu ya…” Ujar Bambang sambil melambaikan tangannya ke Koko.

“Oke” Koko membalas sambil memberi isyarat jempol dengan tangan kanannya kepada Bambang lalu kembali merapikan kursi-kursi yang masih berserakan.

Sebelum masuk bungalo suamiku menghentikan langkah kakinya. Tangan kirinya meraih tangan kananku. Aku membalikkan tubuh dan menatap sejenak wajahnya. Pandangannya kosong walau lurus menatapku.

“Papa kenapa?” Tanyaku penuh rasa penasaran.

Ia tak langsung menjawab pertanyaan yang Kulontarkan kapadanya, tetapi ia malah memeluk tubuhku erat-erat.

“Papa minta maaf” Terdengar suaranya sayup-sayup di telingaku

Hanya itu. Kami langsung istirahat dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kami berdua setelah itu. Sepatah kata pun tidak. Kejadian malam ini sangat membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Malam yang kami awali dengan begitu mesra dan dipenuhi kebahagiaan, diakhiri dengan sebuah tanda tanya besar yang terus menghantui pikiranku.

***

Setahun terakhir perilaku Bambang memang membuatku keheranan. Ia tak hanya menjadi orang memiliki satu kepribadian tertentu. Ketika ia bersikap sebagai orang dewasa, ketika itu pula ia memiliki kepribadian kebalikan dari sifat itu, yaitu kekanak-kanakan. Awalnya Aku sempat shok, tetapi hal tersebut membuatku merasa kecewa terus larut dalam rasa sedih. Sebaliknya, kejadian ini justru membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung karena tak setiap perempuan mampu bersabar menerima kondisi suaminya terkena kelainan kejiwaan seperti yang menimpa Bambang.

Demi kesembuhan Bambang, Aku membawanya ke Naufal, teman sekelasku saat di SMA. Sekarang ia berprofesi sebagai psikiater di RSJ Tanjung Datuk. Menurutnya Bambang memiliki kondisi kejiwaan bipolar, artinya Bambang memiliki kepribadian ganda.

“Jangan khawatir Nisa, Aku akan merawat Bambang dengan baik. Di sini ia bisa berinteraksi dengan denganku dan para perawat serta beberapa pasien lainnya. Kamu bisa menjenguknya ke sini kapanpun yang kamu mau” Naufal berusaha agar Aku memberikan kepercayaanku padanya.

“Tapi harus berapa lama Bambang berada di sini?” Tanyaku seakan enggan berpisah dengan Bambang.

“Soal itu Aku tidak bisa menentukannya. Hanya kemurahan Tuhan dan semangat Bambang untuk sembuh yang menjadi jawaban dari pertanyaanmu, anggap saja ia sekarang ini ia sedang butuh piknik dari kesibukan bisnis pariwisatanya” Jawabnya ringan namun tetap memberikan kepastian.

“Baiklah, Aku akan selalu menunggu kabar Bambang darimu, bulan depan jika tidak ada hambatan Aku akan menjenguknya” Ujarku meski gundah tak lekang di hati.

“Sesegera mungkin. Aku pasti akan memberi tahumu jika ada perkembangan dari dirinya” Sekali lagi Naufal mencoba meyakinkan diriku agar Aku memberikan seluruh kepercayaanku kepadanya.

Akhirnya Kuputuskan untuk menitipkan Bambang bersama Naufal. Mendengar penjelasan Naufal, di satu sisi Aku merasa sedih karena harus berpisah dengan Bambang. Namun di sisi yang lain, Aku sangat bersyukur kelainan kejiwaan yang dideritanya dapat disembuhkan. Mungkin ia benar bahwa pekerjaan Bambang mengurus pariwisata di Teluk Buton selama ini membuat jiwanya tertekan. Alhasil dalam tempo tujuh bulan ia berhasil sembuh dan sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.

***

Malam berganti pagi. Kilau cahaya mentari tak mampu menyibak tabir kegundahan yang menyelimuti hatiku sedari tadi malam. Setelah sarapan bersama keluarga Koko kami pamit diri karena hari ini Firman dan Julia akan datang berkunjung ke rumah.

Suasana perjalanan pulang pun terasa sangat hening. Bambang diam seribu bahasa sejak kami berpamitan dengan keluarga Koko. Mobil yang ia kendarai kini semakin laju. Aku kebingungan, takut, dan merasa kesal. Semakin jauh jarak yang kami tempuh sejak kami meninggalkan restoran Koko, rasa kecewaku terhadap Bambang semakin bertambah. Aku sudah terbawa emosi, akal sehatku sudah tak mampu mencerna apa yang ada dibalik tingkah Bambang sampi saat ini. Sikap Bambang tidak bisa Kutolerir.

“Baiklah, permintaanmu dua puluh tahun lalu akan Aku penuhi” Bambang tak menjawab. ia tetap diam dan bagiku diamnya sudah cukup menjadi jawaban.

“Dan diammu Aku anggap sebagai iya, puas?” Tukasku.

Kecepatan mobil pun kembali normal. Diam, hanya diam. Ia tetap membungkam mulutnya, bahkan ketika kami berdua sampai di rumah.

***

Pada tahun pertama sejak Bambang mempersuntingku sebagai istrinya, kami belum juga dikaruniai seorang anak. Bambang divonis oleh dokter menderita varikokel yang mengakibatkan kami sulit memperoleh keturunan. Vonis tersebut membuatnya frustasi. Ia pun memintaku agar menggugatnya di pengadilan. Namun, hal itu tidak pernah terjadi.

Firman bukanlah anak kandung kami. Ia adalah anak Erna, kerabat jauh Bambang, yang kami adopsi darinya. Ketika itu kondisi ekonominya sedang tidak baik. Apalagi setelah suaminya meninggal dunia ketika Firman genap berusia empat tahun, membuatnya harus pontang-panting membanting tulang untuk menghidupi kelima anaknya.

Aku dan Bambang pun berinisiatif untuk menjadikan Firman sebagai anak angkat dan sebagai balasannya kami memberikan bantuan modal kepada Erna agar ia bisa membuka usaha. Dan kini usahanya semakin sukses. Dagangan kelontong miliknya sekarang berubah menjadi toko swalayan yang cukup besar dan dari keuntungan usahanya tersebut ia berhasil membiayai pendidikan empat orang anaknya hingga jenjang perguruan tinggi.

***

Pada esok harinya Aku pergi ke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan ceraiku terhadap Bambang. Awalnya Pengadilan Agama sempat menawarkan solusi perdamaian kepada kami berdua namun solusi tersebut Kutolak mentah-mentah dengan berbagai alasan. Melihat kerenggangan hubungan rumah tanggaku yang seperti ini Pengadilan Agama akhirnya mengaminkan gugatan ceraiku.

Kedatangan Firman dan Julia yang tengah hamil muda pada hari itu pun tak mampu merekatkan lagi ikatan pernikahan kami. Prinsipku yang dulu, kini berubah 180 derajat. Sikap dingin Bambang selama seminggu ini menghapus semua kenangan indah yang pernah kami ukir bersama selama dua puluh tahun. Pupus sudah harapan untuk mengekalkan jalinan cinta ini.

Pada minggu kedua persidangan pun dilaksanakan. Keputusan hakim telah dijatuhkan dan Bambang harus mengucapkan talak di hadapanku dan para hakim. Semenjak hari itu kami berdua resmi bercerai. Selesai dari persidangan Bambang bergegas ke bandara internasional Tok Nyong. Ia akan berangkat ke Batam untuk meeting dengan para investor asing yang menawarkan kerja sama dengannya. Ia pun menitipkan kunci mobilnya kepadaku agar Aku bisa mengambil barang-barangku di rumah.

Saat masuk mobil, terlihat sebuah origami hati berwarna merah menyala yang tergeletak di atas jok mobil. Aku pun mengambil origami tersebut, tampak pada seni lipat kertas tersebut pola-pola goresan pena. Lantas Aku pun membukannya. Ternyata itu adalah sepucuk surat dari Bambang.

“Assalamu’alaikum, Nisaku tercinta. Maafkanlah sikap egoisku. Kutahu ini salah, tetapi sakit rasanya jika harus berpisah dengan yang terkasih walau itu sementara. Ingin hati berjumpa denganmu, Nisa. Sehingga di bulan ketujuh, Aku memaksa Naufal agar ia mengizinkanku pulang, meski persentase kesembuhanku belum mencapai 100 persen.

Ternyata pertemuan denganmu hanya mampu mengobati rinduku. Namun, penyakit ini tampaknya tak kunjung sembuh. Sekali lagi maafkan keegoisan karena terpaksa membuatmu membenciku dan menggugatku. Aku khawatir karena penaykitku ini, sewaktu-waktu Aku dapat mencelakkanmu lagi seperti ketika perjalana pulang dari restoran Koko. Maaf telah membuatmu menjauh dariku demi keselamatanmu.

Hari ini Aku akan ke Batam untuk menjalani terapi untuk menyembuhkan sakit jiwa yang kuderita ini, tetapi entah sampai kapan Aku harus tinggal di sana. Terimalah permintaan maafku. Tetap tinggallah di rumah impian kita di pesisiran utara, Teluk Buton. Terdapat sekeping cintaku yang sampai saat ini masih Kutitipkan padamu. Tunggulah kepulanganku di sana, Nisa. Wassalam.”

Aku pun menyalakan mesin mobil dan bergegas pulang ke rumah impian kami. Aku pulang dengan membawa suatu persaan yang aneh. Hatiku berdebar-debar, ingin menangis tetapi bingung karena apa, ingin tersenyum lebar tetapi tak ada alasan yang pasti untuk itu. Meski lisan berucap benci, tetapi terasa berat bagiku untuk membohongi perasaan yang bergejolak di hati. Bagiku yang pasti saat ini adalah Aku akan pulang keTeluk Buton dan akan selalu menjaga sekeping cinta yang dititipkan oleh Bambang di pesisiran utara ini hingga batas waktu yang hanya Tuhan yang tahu. Setahun kemudian Bambang pun pulang dan menepati janjinya untuk mengikat kembali jalinan kasih di antara kami berdua dengan akad pernikahan yang baru.

***

Keterangan pasal-pasal yang terkait dengan cerpen:

Pasal 113 butir b : Putusnya perkawinan akibat perceraian.

Pasal 116 butir f : Alasan perceraian karena “antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

Pasal 119 ayat 1 : Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

Pasal 119 ayat 2 butir b : salah satu talak Ba`in Shughraa adalah talak dengan tebusan atau khuluk

Pasal 131 ayat 2 : Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

Pasal 131 ayat 3 : Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

*Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah